Pembangunan
budaya dan karakter bangsa (cultural and character building) merupakan komitmen
nasional yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara Indonesia. Dalam berbagai dokumen sejarah politik dan
ketatanegaraan, telah tercatat bahwa pembangunan budaya dan karakter bangsa
merupakan salah satu kehendak para pendiri Negara (founding fathers) yang perlu
dilaksanakan secara berkesinambungan, seperti misalnya teks yang terdapat dalam
naskah Sumpah Pemuda, naskah Proklamasi, naskah Pembukaan UUD 1945, serta yang
tercermin dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan
lainnya. Jadi pembangunan budaya dan karakter bangsa merupakan komitmen bersama
bangsa Indonesia yang harus dilaksanakan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
Pembangunan
budaya dan karakter bangsa akan semakin penting ketika bangsa Indonesia mulai
memasuki era globalisasi yang penuh dengan tantangan. Pengaruh peradaban bangsa
asing yang dibawa oleh arus globalisasi secara terus menerus mempengaruhi
perilaku dan moralitas bangsa Indonesia. Ketika menjelang proklamasi kemerdekaan
bangsa Indonesia, hampir semua warga/bangsa Indonesia cenderung mengutamakan
kepentingan bersama bangsa Indononesia daripada kepentingan pribadi dan
kelompok, golongan, suku, agama, dan daerah. Semangat nasionalisme membara di
dada sebagian besar bangsa Indonesia dengan konsentrasi satu tujuan yaitu
merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Hal ini berbeda dengan kondisi terkini,
dimana budaya dan karakter bangsa lain banyak mempengaruhi karakter dan
moralitas bangsa Indonesia, terutama sebagai dampak dari pengaruh modernisasi
dan globalisasi.
Pembangunan
budaya dan karakter bangsa pada hakikatnya merupakan pengakuan atas hak-hak
warganegara sebagai kompensasi dari masyarakat pluralis yang demokratis.
Hak-hak warga sipil, hak asasi manusia dan hak keadilan sosial dikembangkan
dalam suasana yang demokratis dalam masyarakat madani (Wahab, 2011). Amandemen
UUD 1945 semakin meningkatkan kehidupan demokratis yang menjamin pengakuan
terhadap hak-hak warga sipil. Kebebasan individu dalam berinovasi dan
berekspresi semakin terbuka lebar. Semangat reformasi yang didukung era
globalisasi telah mendorong kemajuan dalam demokratisasi. Namun masa transisi
dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang dikendalikan pemerintahan otoriter,
menuju suasana kehidupan yang demokratis sebagaimana tuntutan semangat
reformasi, telah memunculkan berbagai fenomena sosial yang mempengaruhi
karakter dan moralitas warga negara.
Budaya luhur (high cultural) dan karakter bangsa semakin terdistorsi oleh
merebaknya pengaruh budaya global yang setiap hari dilihat dan didengar melalui
berbagai saluran informasi. Etika berperilaku, sopan santun, keramah-tamahan,
tolong menolong dan semangat kekeluargaan yang dimiliki oleh masyarakat
Indonesia tergusur oleh semangat demokratisasi yang seringkali diartikan
sebagai kebebasan yang seluas-luasnya. Gaya hidup individualis, materialistis
dan liberalis berkembang pesat seiring dengan merebaknya pengaruh globalisasi
yang bersumber dari masyarakat barat. Kemajuan teknologi telah membawa berbagai
dampak degradasi lingkungan, lokalisme demokratis, dan multikulturalisme. Semua
masalah yang disebut belakangan ini merupakan tantangan berat dalam
revitalisasi peran warga sipil, khususnya melalui Pendidikan Kewarganegaraan.
Tantangan
besar ke depan lainnya bagi bangsa Indonesia adalah menumbuhkan budaya dan
kehidupan demokrasi (cultural democracy) pada berbagai komponen masyarakat,
mulai dari elit politik, para birokrat dalam pemerintahan, dunia usaha, lembaga
swadaya masyarakat, kaum intelektual, hingga masyarakat luas. Pembentukan
struktur pemerintahan yang demokratis tanpa diimbangi dengan tumbuhnya
kehidupan demokrasi akan menjurus pada lahirnya kehidupan demokrasi yang semu
seperti yang pernah terjadi dalam pemerintahan Indonesia pada periode-periode
sebelumnya. Oleh karena itu, pembinaan pemahaman akan prinsip-prinsip serta
cara hidup yang demokratis adalah salah satu tantangan mendasar bagi pendidikan
nasional dalam membentuk dan mengembangkan kehidupan dan masyarakat yang
semakin demokratis.
Sistem
pendidikan nasional sebagaimana digariskan dalam Pasal 31 UUD 1945 beserta
peraturan perundangan turunannya merupakan upaya untuk mewujudkan komitmen
nasional itu. Pada tataran kurikuler “pendidikan kewarganegaraan” baik
substansi, proses pembelajaran, maupun efek sosio-kulturalnya sengaja dirancang
dan diprogramkan untuk mewujudkan program-program pendidikan demokrasi yang
bermuara pada pembentukan karakter bangsa Indonesia. Tujuan utamanya adalah
untuk menumbuhkan karakter warganegara baik karakter privat, seperti tanggung
jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia
dari setiap individu; maupun karakter masyarakat, misalnya kepedulian sebagai
warga, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan
kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi (Winataputra dan
Budimansyah, 2007:192).
Di
Indonesia, sekolah telah diberikan tanggung jawab dalam upaya pembangunan
karakter sejak awal kemerdekaan melalui mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan. Sejak masuk dalam kurikulum sekolah mulai tahun 1962 sampai
sekarang, Pendidikan Kewarganegaraan mengalami berbagai perubahan baik nama,
orientasi, substansi, maupun pendekatan pembelajarannya. Pada kurun waktu
berlakunya Kurikulum 1962 dikenal adanya mata pelajaran Civics
(Kewarganegaraan) yang tujuan dan isinya berorientasi pada substansi Manipol
dan USDEK yang sepenuhnya menggunakan pendekatan indoktrinasi politik. Pada
kurun berlakunya Kurikulum 1968 dikenal adanya mata pelajaran Pendidikan
Kewargaan Negara yang isinya mencakup Civics (pengetahuan kewargaannegara),
ilmu bumi Indonesia, dan sejarah Indonesia (untuk sekolah dasar); dan mata
pelajaran Kewargaan Negara (untuk SLP dan SLA). Tujuan dan muatannya
berorientasi pada substansi UUD 1945 dan TAP MPRS serta perundangan lainnya,
dengan pendekatan pembelajaran yang juga masih bersifat indoktrinatif.
Pada
kurun waktu berlakunya Kurikulum 1975 dan 1984 pada semua jenis dan jenjang
pendidikan dikenal adanya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan
pada Kurikulum 1994 dikenal adanya mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn). Namanya memang berbeda, namun muatan dan orientasi PMP
dan PPKn adalah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dengan
pendekatan pembelajaran yang masih tetap didominasi oleh pendekatan
indoktrinatif dengan modus transmisi nilai (value inculcation).
Tampaknya
semua itu terjadi karena sekolah diperlakukan sebagai socio-political
institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan pembelajaran serta secara
konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang
secara ajeg diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan
operasional.
Kini
pada era reformasi pasca jatuhnya politik Orde Baru yang diikuti dengan
tumbuhnya komitmen baru kearah perwujudan cita-cita dan nilai demokrasi
konstitusional yang lebih dinamis, dikenal adanya mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) sebagai mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan
warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk
menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter
sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Ini mestinya merupakan
kebangkitan PKn untuk memposisikan dirinya sebagai penghela pembangunan karakter
bangsa agar dapat menyiapkan generasi muda yang memiliki karakter
ke-Indonesiaan.
Membangun
Budaya Dan Karakter Ke-Indonesiaan
Peradaban
modern yang lahir dari ibu kandung globalisasi ternyata menimbulkan sejumlah
persoalan dan kekecewaan. Eric Fromm (1997) menjelaskan perkembangan Eropa
sebagai perkembangan peradaban modern. Tema sentral perkembangan peradaban
modern ini menurut pendapatnya adalah timbulnya kebebasan (freedom), yang
terjadi pada level individu maupun masyarakat. Pada level individu kebebasan
itu diawali timbulnya self (diri) dalam proses individuation.
Ketidak-terpisahan antara individu dan lingkungannya, memberikan kepada
individu perasaan aman (security feeling), perasaan kebersatuan (belongingness)
dan perasaan bahwa ia mengakar (rooted) pada sesuatu. Diperolehnya kebebasan
oleh individu itu berarti hilangnya ikatan rasa aman dan menyatu pada pada
individu yang berganti dengan kekhawatiran (anxiety), ketidakberdayaan
(powerless), kemenyendirian (aloneless), keterombang-ambingan (uprootedness),
keraguan (doubt) yang kesemuanya itu bermuara pada sikap permusuhan
(hostility).
Perkembangan
kepribadian pada level masyarakat juga menentukan proses individuation
sepanjang sejarah, yang dalam masyarakat Barat merupakan hasil perjuangan, yang
dapat disebut hasil perjuangan kebebasan. Pada level individu, kebebasan ini
berupa teraihnya kebebasan dari segala macam kekuasaan baik dari gereja,
negara, atau eksploitasi ekonomi. Namun kebebasan level individu, berdampak
pada munculnya kegelisahan (anxiety), kehilangan kekuatan (powerless),
kesendirian (aloneless), tidak mengakar (uprootedness), keragu-raguan (doubt),
dan permusuhan (hostility).
Melalui
proses kebebasan itu, Eric (1997) melukiskan timbulnya sistem kapitalisme, yang
pernah terjadi pada abad ke-15 (abad pertengahan atau abad kegelapan) dan abad
ke-16 (abad Reformasi Gereja atau timbulnya Protestanisme). Kapitalisme pada
abad ke-15 mula-mula berkembang di Italia, yang antara lain disebabkan laut
Merah menjadi jalur kegiatan perdagangan Eropa, dan dekatnya ke Dunia Timur
(termasuk Arab/Islam), sehingga kebudayaan Timur dapat diboyong ke Eropa.
Kapitalisme yang timbul adalah kapitalisme bangsawan. Perekonomian dilakukan di
atas landasan etik yang kuat (persaudaraan) sehingga sedikit sekali persaingan.
Akibatnya akumulasi kapital berjalan sangat lambat walaupun dalam sistem
perdagangan tersebut kapital masih berperan sebagai pengendali perdagangan.
Sejak
abad ke-16, yakni ketika Reformasi Gereja, kelas menengah menjadi mencuat ke
atas sebagai akibat lecutan Luther dan Calvin. Mereka mendambakan harta
kekayaan (sebagai simbol keberhasilan). Ajaran mereka yang terpenting adalah
kemandirian dan mengandalkan usaha sendiri dengan berjerih payah. Inilah segi
positif dari kapitalisme sebagaimana dilecut oleh Protestanisme, yang tema
sentralnya adalah kebebasan. Namun segi negatifnya, sebagaimana diungkapkan di
muka adalah terjadinya perasaan tidak aman (insecurity feeling), kegelisahan
(anxiety), kehilangan kekuatan (powerless), dan sebagainya.
Dari
analisis itu Eric menyimpulkan bahwa disamping orang membutuhkan kebebasan
(freedom), ia juga memerlukan ketergantungan (dependensi atau submissiveness).
Akibat kebutuhan submissiveness itu tidak terpenuhi, maka kebebasan menjadi
tidak bermakna lagi. Maka timbulah mekanisme untuk melarikan diri dari
kebebasan atau escape from freedom berupa melukai diri sendiri (masochism),
melukai orang lain (sadism), melenyapkan objek atau saingan (destructiveness),
dan mengekor secara serempak (automaton) (Budimansyah,2008).
Kapitalisme
Barat dan masyarakat modern sebagaimana diterangkan Eric, memiliki karsa (will)
yang kuat (seperti kemandirian, percaya diri, jerih payah), akan tetapi
tercipta pula masyarakat yang goyah. Kegagalan itu ditimbulkan oleh tiadanya
ketenangan batin (insecurity feeling) akibat melupakan nilai-nilai agama.
Suatu
tuntutan moralitas baru misalnya telah diteriakan oleh Revolusi Prancis:
“liberte, egalite, fraternite” (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan), tetapi
sampai saat ini tampaknya hanya “kebebasan” yang diperoleh, sedangkan
“persamaan” masih jauh tertinggl. Ini terutama disebabkan karena moral
“persaudaraan” hampir tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam peradaban
modern ini. Hal ini juga terjadi pada masyarakat Indonesia pada era reformasi
dimana semua kalangan terlanda euforia kebebasan. Semua lapisan masyarakat
hendak merengguk kebebasan yang seluas-luasnya, sementara semangat persaudaraan
sebagai bangsa semakin terpuruk dan akibatnya persamaan dan keadilan sulit
untuk diwujudkan. Hal itu menjauhkan diri dari semangat persaudaraan, dan gaya
hidup kekeluargaan sebagaimana yang menjadi inti dari karakter ke-Indonesiaan.
Semangat persaudaraan dan gaya hidup kekeluargaan masih harus dibangun dalam
masyarakat kita sebelum semakin jauh dari karakter ke-Indonesiaan.
Kebangkitan
moral baru diharapkan mampu melandasi pranata sosial dan menghasilkan hubungan
sosial yang lebih baik antar masyarakat dan negara serta warganegara (Bellah,
1999). Ia mengatakan bahwa semua kejadian yang telah merendahkan martabat
manusia adalah hasil dari pilihan-pilihan kita (social choices) yang kemudian
kita bakukan dalam pranata sosial. Untuk merombaknya perlu dilakukan sesuatu
pemilihan-pemilihan yang baru, ini membutuhkan suatu sistem nilai, karena semua
pilihan memiliki landasan moral dan etika.
Menganalaisis
pranata-pranata sosial berarti mempertanyakan: “bagaimana kita seharusnya
hidup?” dan “bagaimana kita berpikir tentang bagaimana kita hidup?”.
Pranata-pranata sosial yang telah mengatur bagaimana kita hidup ternyata
berjalan kurang baik atau tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya kita inginkan
(ideal values). Jadi ideal values hanya tersimpan dalam khasanah budaya kita,
tapi tidak secara efektif mengatur perilaku kita di dalam pranata sosial yang
ada (Wirutomo,2001).
Kekecewaan
terhadap peradaban modern juga diungkapkan oleh seorang sosiolog Amerika
Serikat lainnya yang bernama Amitai Etzioni (1993) dengan memberi contoh
masyarakat negaranya sendiri, Amerika Serikat. Masyarakat Amerika Serikat,
menurut Etzioni, perlu mengembangkan nilai keakuannya (individualisme) yang
telah berakar pada budaya mereka dengan nilai-nilai ke-kitaan yang bersifat
komunitarian. Dengan kata lain harus adanya keseimbangan antara hak (yang
berorientasi pada keakuan) dan kewajiban (yang berorientasi pada hak orang
banyak). Pemikiran ini sangat relevan untuk mengoreksi fenomena yang terjadi
pada masyarakat kita yang sejak masa penjajahan sampai masa Orde Baru selalu
dilecehkan hak-haknya oleh pemerintah dan negara, dalam masa reformasi ini
sekonyong-konyong mengidap gejala “strong sense of entitlement” yaitu cenderung
menuntut hak (bila perlu secara paksa dan kekerasan) tetapi segan menerima
kewajiban bagi kepentingan umum.
Etzioni
(1993) menyadari terbentuknya masyarakat komunitarian hanya dapat terwujud
melalui suatu gerakan sosial yang sistematis. Itulah sebabnya ia bersama
kelompoknya mencanangkan kebulatan tekad gerakan “komunitarian” sebagai
berikut:
1. Masyarakat
harus mampu menciptakan suatu moralitas baru yang tidak mengganggu kehidupan
pribadi orang (sikap anti puritanisme).
2. Masyarakat
mempertahankan suatu “hukum dan keteraturan” tanpa harus jatuh pada suatu
“negara polisi” dengan merancang secara hati-hati kewenangan dan kekuasaan
pemerintah.
3. Masyarakat harus
menyelamatkan kehidupan keluarga tanpa harus membatasi hak anggotanya secara
diskriminatif.
4. Sekolah harus
mampu memberikan pendidikan moral, tanpa mengindoktrinasi anak muda.
5. Masyarakat
harus memperkuat kehidupan komunitas tanpa menjadi orang fanatik dan saling
bermusuhan terhadap komunitas lain.
6. Individu
harus meningkatkan tanggung jawab sosial bukan sebagai suatu pembatasan hak-hak
kita, tetapi justru sebagai perimbangan dari hak-hak yang kita peroleh. Semakin
besar hak yang diterima, semakin besar pula kewajiban yang perlu ditanggung.
7. Perjuangan
kepentingan pribadi harus diimbangi dengan komitmen pada komunitas, tanpa harus
menjadi korban bagi kelompok. Oleh karena itu keserakahan individu yang tanpa
batas harus diganti dengan “kepentingan pribadi” yang bermanfaat secara sosial
dan memperoleh peluang yang disahkan oleh masyarakat.
8. Kewibawaan
pemerintah harus dijaga tanpa menghilangkan kesempatan bagi semua warga
menyampaikan pendapat dan kepentingannya.
Semua
itu adalah inti dari sikap moral komunitarian yang ditawarkan oleh Etzioni,
yakni kesepakatan manusia modern untuk menciptakan moral baru, kehidupan
sosial, dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan kembali nilai
“kebersamaan”, tanpa adanya puritanisme dan penindasan. Semangat mengembangkan
moral baru bagi peradaban modern yang telah mengalami kegagalan ini juga tampak
dari pemikiran Giddens dalam “The Third Way” dimana ia memperjuangkan demokrasi
sosial yang berintikan solidaritas, kesamaan dan keamanan serta peran aktif
negara (Wirutomo,2001:19).
Konsep
karakter ke-Indonesiaan ini pada dasarnya mengacu pada sikap moral komunitarian
yang bercorak kepribadian Indonesia yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dan
norma yang berlandaskan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Membangun karakter ke-Indonesiaan dengan demikian merupakan suatu
proses memberikan posisi warganegara yang lebih mandiri terhadap negara,
membina etos demokrasi yang bukan sekedar menekankan hak individual dan supremasi
hukum, tetapi terutama menekankan pada pembenahan moral hubungan
antarwarganegara itu sendiri, penanaman nilai kerukunan yang menghasilkan
kepedulian terhadap semua warga negara dan nasib seluruh bangsa.
C.
Peran Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan
Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu mata pelajaran di Sekolah Dasar yang
memiliki tugas profesional untuk membina siswa agar menjadi generasi penerus
yang sebagaimana diharapkan bangsa dan negara dalam konteks pembinaan generasi
muda menjadi seorang warganegara yang baik. Anak adalah warganegara hipotetik,
yakni warganegara yang “belum jadi” karena masih harus dididik menjadi
warganegara dewasa yang sadar akan hak dan kewajibannya (Budimansyah,2007).
Oleh karena itu masyarakat sangat mendambakan generasi mudanya dipersiapkan
untuk menjadi warganegara yang baik dan dapat berpartisipasi dalam kehidupan
masyarakat dan negaranya. Keinginan tersebut lebih tepat disebut sebagai
perhatian yang terus tumbuh, terutama dalam masyarakat demokratis. Banyak
sekali bukti yang menunjukkan bahwa tak satu pun negara, termasuk Indonesia,
telah mencapai tingkat pemahaman dan penerimaan terhadap hak-hak dan tanggung
jawab di antara keseluruhan warga negara dalam menunjang kehidupan demokrasi
konstitusional.
Masyarakat
hendaknya menyadari bahwa PKn sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan
demokrasi konstitusional. Sebagaimana yang selama ini dipahami bahwa ethos
demokrasi sesungguhnya tidaklah diwariskan, tetapi dipelajari dan dialami. Hal
ini menegaskan bahwa setiap generasi adalah masyarakat baru yang harus
memperoleh pengetahuan, mempelajari keahlian, dan mengembangkan karakter atau
watak publik maupun privat yang sejalan dengan demokrasi konstitusional. Sikap
mental ini harus dipelihara dan dipupuk melalui perkataan dan pembelajaran
serta keteladanan. Demokrasi bukanlah “mesin yang akan berfungsi dengan
sendirinya”, tetapi harus selalu secara sadar direproduksi dari suatu generasi
ke generasi berikutnya.
Oleh
karena itu, PKn seharusnya diberdayakan untuk membentuk generasi muda yang
berkarakter Indonesia. PKn perlu difungsionalkan sebagai pengemban tugas untuk
membentuk warganegara yang bertanggung jawab, efektif, kreatif dan dan
terdidik. Demokrasi dipelihara oleh warganegara yang mempunyai pengetahuan,
kemampuan dan karakter yang dibutuhkan. Tanpa adanya komitmen yang benar dari
warganegara terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi, maka masyarakat
yang terbuka dan bebas, tak mungkin terwujud. Oleh karena itu, tugas bagi para
pendidik, pembuat kebijakan, dan anggota civil society lainnya, adalah
mensosialisasikan pentingnya PKn kepada seluruh lapisan masyarakat dan semua
pranata sosial yang ada di dalam masyarakat. PKn sudah menjadi bagian inheren
dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor “value-based education”. Konfigurasi
atau kerangka sistemik PKn dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut
(Budimansyah,2008)
Pertama,
PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk
mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang
berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab. Kedua, PKn secara
teoretik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif,
afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan
terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila,
kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. Ketiga, PKn secara
programatik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan pada isi yang
mengusung nilai-nilai (content-embedding values) dan pengalaman belajar
(learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntunan hidup bagi warga negara
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran
lebih lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang
demokratis, dan bela negara.
Namun
sejak di-implementasikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan
(persekolahan maupun perguruan tinggi), PKn menghadapi berbagai kendala dan
keterbatasan. Kendala dan keterbatasan tersebut adalah: (1) masukan
instrumental (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kualitas
guru/dosen serta keterbatasan fasilitas dan sumber belajar, dan (2) masukan
lingkungan (environmental input) terutama yang berkaitan dengan kondisi dan
situasi kehidupan politik negara yang kurang demokratis. Dengan demikian,
pelaksanaan PKn tidak mengarah pada misi sebagaimana seharusnya. Beberapa
indikasi empirik yang menunjukkan salah arah tersebut antara lain adalah
sebagai berikut:
Pertama,
proses pembelajaran dan penilaian dalam PKn lebih menekankan pada dampak
instruksional (instructional effects) yang terbatas pada penguasaan materi
(content mastery) atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi
kognitifnya saja. Sedangkan pengembangan dimensi-dimensi lainnya (afektif dan
psikomotorik) dan pemerolehan dampak pengiring (nurturant effects) sebagai
“hidden curriculum” belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya.
Kedua,
pengelolaan kelas belum mampu menyiptakan suasana kondusif dan produktif untuk
memberikan pengalaman belajar kepada siswa/mahasiswa melalui perlibatannya
secara proaktif dan interaktif baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun
di luar kelas (intra dan ekstra kurikuler) sehingga berakibat pada miskinnya
pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning) untuk mengembangkan
kehidupan dan perilaku siswa/mahasiswa.
Ketiga,
pelaksanaan kegiatan ekstra-kurikuler sebagai wahana sosio-pedagogis untuk
mendapatkan “hands-on experience” juga belum memberikan kontribusi yang
signifikan untuk menyeimbangkan antara penguasaan teori dan praktek pembiasaan
perilaku dan keterampilan dalam berkehidupan yang demokratis dan sadar hukum.
Indikasi-indikasi
tersebut melukiskan begitu banyaknya kendala kurikuler dan sosial-kultural bagi
PKn untuk menghasilkan suatu totalitas hasil belajar yang mencerminkan
pencapaian secara komprehensif (menyeluruh) dimensi kognitif, afektif, dan
psikomotorik yang koheren dan konfluen. Hasil belajar PKn yang belum mencapai
keseluruhan dimensi secara optimal seperti digagaskan itu berarti menunjukkan
bahwa tujuan kurikuler PKn belum dapat dicapai sepenuhnya.
Selain
menghadapi kendala internal sebagaimana diuraikan di atas, PKn juga menghadapi
kendala eksternal yaitu kritikan dan tuntutan dari berbagai lapisan masyarakat
berkaitan dengan semangat demokratisasi yang semakin meningkat dengan segala
eksesnya. PKn yang secara paradigmatik sarat dengan muatan afektif namun
dilaksanakan secara kognitif telah disikapi secara keliru sebagai satu-satunya
obat mujarab (panacea) untuk mengatasi persoalan kehidupan para siswa khususnya
yang menyangkut perilaku dan moral. Namun demikian, kritikan dan tuntutan
tersebut sudah seharusnya direspons dan diakomodasikan secara proporsional
karena memang pendidikan secara umum dan PKn secara khusus bukan hanya tanggung
jawab pemerintah saja tetapi juga tanggung jawab seluruh komponen masyarakat,
bangsa, dan negara Indonesia. Tanggung jawab bersama untuk menyelenggarakan
pendidikan yang berkualitas pada hakikatnya merupakan perwujudan dari amanat
nasional.
Kendala
eksternal lainnya yaitu pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai
persoalan dan situasi global yang berkembang cepat setiap waktu baik yang
bermuatan positif maupun yang bermuatan negatif atau bertentangan dengan
kepribadian bangsa Indonesia. Ketidakmampuan bangsa Indonesia dalam merancang
program pendidikan yang meng-akomodasikan kecenderungan dan persoalan global
tersebut berarti akan menghilangkan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan
untuk secara bertahap dapat mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa yang
sudah maju dalam bidang pendidikannya.