Sunday, May 4, 2014

Peran Warga Negara Indonesia dalam Sistem Politik

Partisipasi politik merupakan unsur yang penting dalam demokrasi, termasuk demokrasi Pancasila. Hal itu disebabkan semua hasil keputusan dari demokrasi merupakan kehendak dan aspirasi dari rakyat. Oleh karena itu, partisipasi rakyat sangat menentukan keputusan politik. Partisipasi politik dari rakyat akan memengaruhi kehidupan kenegaraan. Partisipasi politik merupakan keikutsertaan rakyat dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut dan memengaruhi kehidupannya di bidang politik.

Partisipasi politik rakyat menunjukkan partisipasi yang berbeda-beda. Ada rakyat yang terlibat
aktif, misalnya menjabat menjadi pejabat publik (pemerintah/birokrasi). Namun, ada juga rakyat yang tidak aktif dalam berpartisipasi, seperti tidak memilih dalam pemilu (golput). Perbedaan partisipasi politik rakyat tersebut disebabkan beberapa faktor.
Faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi politik adalah sebagai berikut.
1.      Kesadaran politik, yaitu kesadaran terhadap hak dan kewajibannya sebagai warga negara.
2.      Kepercayaan politik, yaitu sikap dan rasa percaya rakyat terhadap pemerintahannya.
Berdasarkan kedua faktor di atas, bentuk partisipasi politik ada empat macam, yaitu sebagai berikut.
1.      Partisipasi politik aktif merupakan partisipasi seseorang yang mempunyai kesadaran dan kepercayaan politik yang tinggi.
2.      Partisipasi politik apatis merupakan partisipasi seseorang yang mempunyai kesadaran dan kepercayaan politik yang rendah.
3.      Partisipasi politik pasif merupakan partisipasi seseorang yang mempunyai kesadaran politik rendah, sedangkan kepercayaan politiknya tinggi.
4.      Partisipasi politik militan radikal merupakan partisipasi seseorang yang memiliki kesadaran politik tinggi, sedangkan kepercayaan politiknya rendah.

Jadi, jika kita ingin mencapai partisipasi politik yang aktif maka rakyat perlu menumbuhkan kesadaran politik dan kepercayaan politik yang tinggi dan positif. Partisipasi politik yang aktif akan meningkatkan persatuan dan kesatuan seluruh warga negara dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.


Ciri masyarakat politik
Pada umumnya masyarakat politik adalah masyarakat yang mengembangkan Partipasi politik terhadap sistem politik negaranya dan sangat di pengaruhi oleh;
1.    Pendidikan politik warga negaranya
2.    Kesadaran Politik warga negaranya
3.    Budaya Politik yang berkembang di masyarakat
4.    Dan cara sosialisasi politik masyarakatnya

Menunjukkan perilaku politik yang sesuai aturan     
Sebelum membahas perilaku politik yang sesuai aturan, maka terlebih dahulu kita pelajari mengenai bentuk-bentuk partisipasi politik yang terjadi di berbagai negara yang dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang berbentuk konvensional dan non konvensional, termasuk yang mungkin legal (seperti petisi) maupun illegal (cara kekerasan atau revolusi). Bentuk-bentuk dan frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, kepuasan atau ketidakpuasan warga negara. Berikut ini adalah bentuk-bentuk partisipasi menurut Almond.
Kegiatan politik yang berbentuk konvensional dan non konvensional ada beberapa hal yang menunjukkan perilaku politik yang sesuai aturan dan yang tidak sesuai aturan; Yang sesuai aturan seperti ( Pemberian suara/Voting, Diskusi Politik, Kegiatan Kampanye, Pengajuan Petisi, Berdemonstrasi), dan kegiatan politik yang tidak sesuai aturan seperti ( Tindak kekerasan politik terhadap harta benda perusakan, pemboman, pembakaran, Tindak kekerasan politik terhadap manusia: penculikan, pembunuhan)







Contoh peran serta dalam sistem politik
Cara-cara yang umum yang dilakukan untuk menyampaikan aspirasi atau peran serta dalam melakukan partisipasi politik adalah:
1.    Memberikan suara dalam pemilu
2.    Terlibat dalam kampanye
3.    Diskusi Politik
4.    Komunikasi individual dengan pejabat politik / administratif
5.    Demonstrasi. Dll


Peran Warga Negara Indonesia dalam Mempertahankan Budaya Bangsa

Pembangunan budaya dan karakter bangsa (cultural and character building) merupakan komitmen nasional yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Dalam berbagai dokumen sejarah politik dan ketatanegaraan, telah tercatat bahwa pembangunan budaya dan karakter bangsa merupakan salah satu kehendak para pendiri Negara (founding fathers) yang perlu dilaksanakan secara berkesinambungan, seperti misalnya teks yang terdapat dalam naskah Sumpah Pemuda, naskah Proklamasi, naskah Pembukaan UUD 1945, serta yang tercermin dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan lainnya. Jadi pembangunan budaya dan karakter bangsa merupakan komitmen bersama bangsa Indonesia yang harus dilaksanakan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pembangunan budaya dan karakter bangsa akan semakin penting ketika bangsa Indonesia mulai memasuki era globalisasi yang penuh dengan tantangan. Pengaruh peradaban bangsa asing yang dibawa oleh arus globalisasi secara terus menerus mempengaruhi perilaku dan moralitas bangsa Indonesia. Ketika menjelang proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, hampir semua warga/bangsa Indonesia cenderung mengutamakan kepentingan bersama bangsa Indononesia daripada kepentingan pribadi dan kelompok, golongan, suku, agama, dan daerah. Semangat nasionalisme membara di dada sebagian besar bangsa Indonesia dengan konsentrasi satu tujuan yaitu merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Hal ini berbeda dengan kondisi terkini, dimana budaya dan karakter bangsa lain banyak mempengaruhi karakter dan moralitas bangsa Indonesia, terutama sebagai dampak dari pengaruh modernisasi dan globalisasi.
Pembangunan budaya dan karakter bangsa pada hakikatnya merupakan pengakuan atas hak-hak warganegara sebagai kompensasi dari masyarakat pluralis yang demokratis. Hak-hak warga sipil, hak asasi manusia dan hak keadilan sosial dikembangkan dalam suasana yang demokratis dalam masyarakat madani (Wahab, 2011). Amandemen UUD 1945 semakin meningkatkan kehidupan demokratis yang menjamin pengakuan terhadap hak-hak warga sipil. Kebebasan individu dalam berinovasi dan berekspresi semakin terbuka lebar. Semangat reformasi yang didukung era globalisasi telah mendorong kemajuan dalam demokratisasi. Namun masa transisi dari kehidupan berbangsa dan bernegara yang dikendalikan pemerintahan otoriter, menuju suasana kehidupan yang demokratis sebagaimana tuntutan semangat reformasi, telah memunculkan berbagai fenomena sosial yang mempengaruhi karakter dan moralitas warga negara. Budaya luhur (high cultural) dan karakter bangsa semakin terdistorsi oleh merebaknya pengaruh budaya global yang setiap hari dilihat dan didengar melalui berbagai saluran informasi. Etika berperilaku, sopan santun, keramah-tamahan, tolong menolong dan semangat kekeluargaan yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia tergusur oleh semangat demokratisasi yang seringkali diartikan sebagai kebebasan yang seluas-luasnya. Gaya hidup individualis, materialistis dan liberalis berkembang pesat seiring dengan merebaknya pengaruh globalisasi yang bersumber dari masyarakat barat. Kemajuan teknologi telah membawa berbagai dampak degradasi lingkungan, lokalisme demokratis, dan multikulturalisme. Semua masalah yang disebut belakangan ini merupakan tantangan berat dalam revitalisasi peran warga sipil, khususnya melalui Pendidikan Kewarganegaraan.
Tantangan besar ke depan lainnya bagi bangsa Indonesia adalah menumbuhkan budaya dan kehidupan demokrasi (cultural democracy) pada berbagai komponen masyarakat, mulai dari elit politik, para birokrat dalam pemerintahan, dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat, kaum intelektual, hingga masyarakat luas. Pembentukan struktur pemerintahan yang demokratis tanpa diimbangi dengan tumbuhnya kehidupan demokrasi akan menjurus pada lahirnya kehidupan demokrasi yang semu seperti yang pernah terjadi dalam pemerintahan Indonesia pada periode-periode sebelumnya. Oleh karena itu, pembinaan pemahaman akan prinsip-prinsip serta cara hidup yang demokratis adalah salah satu tantangan mendasar bagi pendidikan nasional dalam membentuk dan mengembangkan kehidupan dan masyarakat yang semakin demokratis.
Sistem pendidikan nasional sebagaimana digariskan dalam Pasal 31 UUD 1945 beserta peraturan perundangan turunannya merupakan upaya untuk mewujudkan komitmen nasional itu. Pada tataran kurikuler “pendidikan kewarganegaraan” baik substansi, proses pembelajaran, maupun efek sosio-kulturalnya sengaja dirancang dan diprogramkan untuk mewujudkan program-program pendidikan demokrasi yang bermuara pada pembentukan karakter bangsa Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk menumbuhkan karakter warganegara baik karakter privat, seperti tanggung jawab moral, disiplin diri dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu; maupun karakter masyarakat, misalnya kepedulian sebagai warga, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi (Winataputra dan Budimansyah, 2007:192).

Di Indonesia, sekolah telah diberikan tanggung jawab dalam upaya pembangunan karakter sejak awal kemerdekaan melalui mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Sejak masuk dalam kurikulum sekolah mulai tahun 1962 sampai sekarang, Pendidikan Kewarganegaraan mengalami berbagai perubahan baik nama, orientasi, substansi, maupun pendekatan pembelajarannya. Pada kurun waktu berlakunya Kurikulum 1962 dikenal adanya mata pelajaran Civics (Kewarganegaraan) yang tujuan dan isinya berorientasi pada substansi Manipol dan USDEK yang sepenuhnya menggunakan pendekatan indoktrinasi politik. Pada kurun berlakunya Kurikulum 1968 dikenal adanya mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara yang isinya mencakup Civics (pengetahuan kewargaannegara), ilmu bumi Indonesia, dan sejarah Indonesia (untuk sekolah dasar); dan mata pelajaran Kewargaan Negara (untuk SLP dan SLA). Tujuan dan muatannya berorientasi pada substansi UUD 1945 dan TAP MPRS serta perundangan lainnya, dengan pendekatan pembelajaran yang juga masih bersifat indoktrinatif.
Pada kurun waktu berlakunya Kurikulum 1975 dan 1984 pada semua jenis dan jenjang pendidikan dikenal adanya mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan pada Kurikulum 1994 dikenal adanya mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Namanya memang berbeda, namun muatan dan orientasi PMP dan PPKn adalah Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dengan pendekatan pembelajaran yang masih tetap didominasi oleh pendekatan indoktrinatif dengan modus transmisi nilai (value inculcation).
Tampaknya semua itu terjadi karena sekolah diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum efektifnya pelaksanaan pembelajaran serta secara konseptual, karena belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajeg diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan operasional.
Kini pada era reformasi pasca jatuhnya politik Orde Baru yang diikuti dengan tumbuhnya komitmen baru kearah perwujudan cita-cita dan nilai demokra­si konstitusional yang lebih dinamis, dikenal adanya mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945. Ini mestinya merupakan kebangkitan PKn untuk memposisikan dirinya sebagai penghela pembangunan karakter bangsa agar dapat menyiapkan generasi muda yang memiliki karakter ke-Indonesiaan.

Membangun Budaya Dan Karakter Ke-Indonesiaan
Peradaban modern yang lahir dari ibu kandung globalisasi ternyata menimbulkan sejumlah persoalan dan kekecewaan. Eric Fromm (1997) menjelaskan perkembangan Eropa sebagai perkembangan peradaban modern. Tema sentral perkembangan peradaban modern ini menurut pendapatnya adalah timbulnya kebebasan (freedom), yang terjadi pada level individu maupun masyarakat. Pada level individu kebebasan itu diawali timbulnya self (diri) dalam proses individuation. Ketidak-terpisahan antara individu dan lingkungannya, memberikan kepada individu perasaan aman (security feeling), perasaan kebersatuan (belongingness) dan perasaan bahwa ia mengakar (rooted) pada sesuatu. Diperolehnya kebebasan oleh individu itu berarti hilangnya ikatan rasa aman dan menyatu pada pada individu yang berganti dengan kekhawatiran (anxiety), ketidakberdayaan (powerless), kemenyendirian (aloneless), keterombang-ambingan (uprootedness), keraguan (doubt) yang kesemuanya itu bermuara pada sikap permusuhan (hostility).
Perkembangan kepribadian pada level masyarakat juga menentukan proses individuation sepanjang sejarah, yang dalam masyarakat Barat merupakan hasil perjuangan, yang dapat disebut hasil perjuangan kebebasan. Pada level individu, kebebasan ini berupa teraihnya kebebasan dari segala macam kekuasaan baik dari gereja, negara, atau eksploitasi ekonomi. Namun kebebasan level individu, berdampak pada munculnya kegelisahan (anxiety), kehilangan kekuatan (powerless), kesendirian (aloneless), tidak mengakar (uprootedness), keragu-raguan (doubt), dan permusuhan (hostility).
Melalui proses kebebasan itu, Eric (1997) melukiskan timbulnya sistem kapitalisme, yang pernah terjadi pada abad ke-15 (abad pertengahan atau abad kegelapan) dan abad ke-16 (abad Reformasi Gereja atau timbulnya Protestanisme). Kapitalisme pada abad ke-15 mula-mula berkembang di Italia, yang antara lain disebabkan laut Merah menjadi jalur kegiatan perdagangan Eropa, dan dekatnya ke Dunia Timur (termasuk Arab/Islam), sehingga kebudayaan Timur dapat diboyong ke Eropa. Kapitalisme yang timbul adalah kapitalisme bangsawan. Perekonomian dilakukan di atas landasan etik yang kuat (persaudaraan) sehingga sedikit sekali persaingan. Akibatnya akumulasi kapital berjalan sangat lambat walaupun dalam sistem perdagangan tersebut kapital masih berperan sebagai pengendali perdagangan.


Sejak abad ke-16, yakni ketika Reformasi Gereja, kelas menengah menjadi mencuat ke atas sebagai akibat lecutan Luther dan Calvin. Mereka mendambakan harta kekayaan (sebagai simbol keberhasilan). Ajaran mereka yang terpenting adalah kemandirian dan mengandalkan usaha sendiri dengan berjerih payah. Inilah segi positif dari kapitalisme sebagaimana dilecut oleh Protestanisme, yang tema sentralnya adalah kebebasan. Namun segi negatifnya, sebagaimana diungkapkan di muka adalah terjadinya perasaan tidak aman (insecurity feeling), kegelisahan (anxiety), kehilangan kekuatan (powerless), dan sebagainya.
Dari analisis itu Eric menyimpulkan bahwa disamping orang membutuhkan kebebasan (freedom), ia juga memerlukan ketergantungan (dependensi atau submissiveness). Akibat kebutuhan submissiveness itu tidak terpenuhi, maka kebebasan menjadi tidak bermakna lagi. Maka timbulah mekanisme untuk melarikan diri dari kebebasan atau escape from freedom berupa melukai diri sendiri (masochism), melukai orang lain (sadism), melenyapkan objek atau saingan (destructiveness), dan mengekor secara serempak (automaton) (Budimansyah,2008).
Kapitalisme Barat dan masyarakat modern sebagaimana diterangkan Eric, memiliki karsa (will) yang kuat (seperti kemandirian, percaya diri, jerih payah), akan tetapi tercipta pula masyarakat yang goyah. Kegagalan itu ditimbulkan oleh tiadanya ketenangan batin (insecurity feeling) akibat melupakan nilai-nilai agama.
Suatu tuntutan moralitas baru misalnya telah diteriakan oleh Revolusi Prancis: “liberte, egalite, fraternite” (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan), tetapi sampai saat ini tampaknya hanya “kebebasan” yang diperoleh, sedangkan “persamaan” masih jauh tertinggl. Ini terutama disebabkan karena moral “persaudaraan” hampir tidak mengalami kemajuan yang berarti dalam peradaban modern ini. Hal ini juga terjadi pada masyarakat Indonesia pada era reformasi dimana semua kalangan terlanda euforia kebebasan. Semua lapisan masyarakat hendak merengguk kebebasan yang seluas-luasnya, sementara semangat persaudaraan sebagai bangsa semakin terpuruk dan akibatnya persamaan dan keadilan sulit untuk diwujudkan. Hal itu menjauhkan diri dari semangat persaudaraan, dan gaya hidup kekeluargaan sebagaimana yang menjadi inti dari karakter ke-Indonesiaan. Semangat persaudaraan dan gaya hidup kekeluargaan masih harus dibangun dalam masyarakat kita sebelum semakin jauh dari karakter ke-Indonesiaan.


Kebangkitan moral baru diharapkan mampu melandasi pranata sosial dan menghasilkan hubungan sosial yang lebih baik antar masyarakat dan negara serta warganegara (Bellah, 1999). Ia mengatakan bahwa semua kejadian yang telah merendahkan martabat manusia adalah hasil dari pilihan-pilihan kita (social choices) yang kemudian kita bakukan dalam pranata sosial. Untuk merombaknya perlu dilakukan sesuatu pemilihan-pemilihan yang baru, ini membutuhkan suatu sistem nilai, karena semua pilihan memiliki landasan moral dan etika.
Menganalaisis pranata-pranata sosial berarti mempertanyakan: “bagaimana kita seharusnya hidup?” dan “bagaimana kita berpikir tentang bagaimana kita hidup?”. Pranata-pranata sosial yang telah mengatur bagaimana kita hidup ternyata berjalan kurang baik atau tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya kita inginkan (ideal values). Jadi ideal values hanya tersimpan dalam khasanah budaya kita, tapi tidak secara efektif mengatur perilaku kita di dalam pranata sosial yang ada (Wirutomo,2001).
Kekecewaan terhadap peradaban modern juga diungkapkan oleh seorang sosiolog Amerika Serikat lainnya yang bernama Amitai Etzioni (1993) dengan memberi contoh masyarakat negaranya sendiri, Amerika Serikat. Masyarakat Amerika Serikat, menurut Etzioni, perlu mengembangkan nilai keakuannya (individualisme) yang telah berakar pada budaya mereka dengan nilai-nilai ke-kitaan yang bersifat komunitarian. Dengan kata lain harus adanya keseimbangan antara hak (yang berorientasi pada keakuan) dan kewajiban (yang berorientasi pada hak orang banyak). Pemikiran ini sangat relevan untuk mengoreksi fenomena yang terjadi pada masyarakat kita yang sejak masa penjajahan sampai masa Orde Baru selalu dilecehkan hak-haknya oleh pemerintah dan negara, dalam masa reformasi ini sekonyong-konyong mengidap gejala “strong sense of entitlement” yaitu cenderung menuntut hak (bila perlu secara paksa dan kekerasan) tetapi segan menerima kewajiban bagi kepentingan umum.
Etzioni (1993) menyadari terbentuknya masyarakat komunitarian hanya dapat terwujud melalui suatu gerakan sosial yang sistematis. Itulah sebabnya ia bersama kelompoknya mencanangkan kebulatan tekad gerakan “komunitarian” sebagai berikut:
1.     Masyarakat harus mampu menciptakan suatu moralitas baru yang tidak mengganggu kehidupan pribadi orang (sikap anti puritanisme).
2.     Masyarakat mempertahankan suatu “hukum dan keteraturan” tanpa harus jatuh pada suatu “negara polisi” dengan merancang secara hati-hati kewenangan dan kekuasaan pemerintah.
3.     Masyarakat harus menyelamatkan kehidupan keluarga tanpa harus membatasi hak anggotanya secara diskriminatif.
4.     Sekolah harus mampu memberikan pendidikan moral, tanpa mengindoktrinasi anak muda.
5.     Masyarakat harus memperkuat kehidupan komunitas tanpa menjadi orang fanatik dan saling bermusuhan terhadap komunitas lain.
6.     Individu harus meningkatkan tanggung jawab sosial bukan sebagai suatu pembatasan hak-hak kita, tetapi justru sebagai perimbangan dari hak-hak yang kita peroleh. Semakin besar hak yang diterima, semakin besar pula kewajiban yang perlu ditanggung.
7.     Perjuangan kepentingan pribadi harus diimbangi dengan komitmen pada komunitas, tanpa harus menjadi korban bagi kelompok. Oleh karena itu keserakahan individu yang tanpa batas harus diganti dengan “kepentingan pribadi” yang bermanfaat secara sosial dan memperoleh peluang yang disahkan oleh masyarakat.
8.     Kewibawaan pemerintah harus dijaga tanpa menghilangkan kesempatan bagi semua warga menyampaikan pendapat dan kepentingannya.
Semua itu adalah inti dari sikap moral komunitarian yang ditawarkan oleh Etzioni, yakni kesepakatan manusia modern untuk menciptakan moral baru, kehidupan sosial, dan keteraturan publik berdasarkan pada penguatan kembali nilai “kebersamaan”, tanpa adanya puritanisme dan penindasan. Semangat mengembangkan moral baru bagi peradaban modern yang telah mengalami kegagalan ini juga tampak dari pemikiran Giddens dalam “The Third Way” dimana ia memperjuangkan demokrasi sosial yang berintikan solidaritas, kesamaan dan keamanan serta peran aktif negara (Wirutomo,2001:19).
Konsep karakter ke-Indonesiaan ini pada dasarnya mengacu pada sikap moral komunitarian yang bercorak kepribadian Indonesia yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila dan norma yang berlandaskan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Membangun karakter ke-Indonesiaan dengan demikian merupakan suatu proses memberikan posisi warganegara yang lebih mandiri terhadap negara, membina etos demokrasi yang bukan sekedar menekankan hak individual dan supremasi hukum, tetapi terutama menekankan pada pembenahan moral hubungan antarwarganegara itu sendiri, penanaman nilai kerukunan yang menghasilkan kepedulian terhadap semua warga negara dan nasib seluruh bangsa.
C. Peran Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan salah satu mata pelajaran di Sekolah Dasar yang memiliki tugas profesional untuk membina siswa agar menjadi generasi penerus yang sebagaimana diharapkan bangsa dan negara dalam konteks pembinaan generasi muda menjadi seorang warganegara yang baik. Anak adalah warganegara hipotetik, yakni warganegara yang “belum jadi” karena masih harus dididik menjadi warganegara dewasa yang sadar akan hak dan kewajibannya (Budimansyah,2007). Oleh karena itu masyarakat sangat mendambakan generasi mudanya dipersiapkan untuk menjadi warganegara yang baik dan dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat dan negaranya. Keinginan tersebut lebih tepat disebut sebagai perhatian yang terus tumbuh, terutama dalam masyarakat demokratis. Banyak sekali bukti yang menunjukkan bahwa tak satu pun negara, termasuk Indonesia, telah mencapai tingkat pemahaman dan penerimaan terhadap hak-hak dan tanggung jawab di antara keseluruhan warga negara dalam menunjang kehidupan demokrasi konstitusional.
Masyarakat hendaknya menyadari bahwa PKn sangat penting untuk mempertahankan kelangsungan demokrasi konstitusional. Sebagaimana yang selama ini dipahami bahwa ethos demokrasi sesungguhnya tidaklah diwariskan, tetapi dipelajari dan dialami. Hal ini menegaskan bahwa setiap generasi adalah masyarakat baru yang harus memperoleh pengetahuan, mempelajari keahlian, dan mengembangkan karakter atau watak publik maupun privat yang sejalan dengan demokrasi konstitusional. Sikap mental ini harus dipelihara dan dipupuk melalui perkataan dan pembelajaran serta keteladanan. Demokrasi bukanlah “mesin yang akan berfungsi dengan sendirinya”, tetapi harus selalu secara sadar direproduksi dari suatu generasi ke generasi berikutnya.
Oleh karena itu, PKn seharusnya diberdayakan untuk membentuk generasi muda yang berkarakter Indonesia. PKn perlu difungsionalkan sebagai pengemban tugas untuk membentuk warganegara yang bertanggung jawab, efektif, kreatif dan dan terdidik. Demokrasi dipelihara oleh warganegara yang mempunyai pengetahuan, kemampuan dan karakter yang dibutuhkan. Tanpa adanya komitmen yang benar dari warganegara terhadap nilai dan prinsip fundamental demokrasi, maka masyarakat yang terbuka dan bebas, tak mungkin terwujud. Oleh karena itu, tugas bagi para pendidik, pembuat kebijakan, dan anggota civil society lainnya, adalah mensosialisasikan pentingnya PKn kepada seluruh lapisan masyarakat dan semua pranata sosial yang ada di dalam masyarakat. PKn sudah menjadi bagian inheren dari instrumentasi serta praksis pendidikan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia melalui koridor “value-based education”. Konfigurasi atau kerangka sistemik PKn dibangun atas dasar paradigma sebagai berikut (Budimansyah,2008)
Pertama, PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi individu agar menjadi warga negara Indonesia yang berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab. Kedua, PKn secara teoretik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang bersifat konfluen atau saling berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara. Ketiga, PKn secara programatik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan pada isi yang mengusung nilai-nilai (content-embedding values) dan pengalaman belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari dan merupakan tuntunan hidup bagi warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sebagai penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela negara.
Namun sejak di-implementasikan pada berbagai jenis dan jenjang pendidikan (persekolahan maupun perguruan tinggi), PKn menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan. Kendala dan keterbatasan tersebut adalah: (1) masukan instrumental (instrumental input) terutama yang berkaitan dengan kualitas guru/dosen serta keterbatasan fasilitas dan sumber belajar, dan (2) masukan lingkungan (environmental input) terutama yang berkaitan dengan kondisi dan situasi kehidupan politik negara yang kurang demokratis. Dengan demikian, pelaksanaan PKn tidak mengarah pada misi sebagaimana seharusnya. Beberapa indikasi empirik yang menunjukkan salah arah tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama, proses pembelajaran dan penilaian dalam PKn lebih menekankan pada dampak instruksional (instructional effects) yang terbatas pada penguasaan materi (content mastery) atau dengan kata lain hanya menekankan pada dimensi kognitifnya saja. Sedangkan pengembangan dimensi-dimensi lainnya (afektif dan psikomotorik) dan pemerolehan dampak pengiring (nurturant effects) sebagai “hidden curriculum” belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya.
Kedua, pengelolaan kelas belum mampu menyiptakan suasana kondusif dan produktif untuk memberikan pengalaman belajar kepada siswa/mahasiswa melalui perlibatannya secara proaktif dan interaktif baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun di luar kelas (intra dan ekstra kurikuler) sehingga berakibat pada miskinnya pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning) untuk mengembangkan kehidupan dan perilaku siswa/mahasiswa.
Ketiga, pelaksanaan kegiatan ekstra-kurikuler sebagai wahana sosio-pedagogis untuk mendapatkan “hands-on experience” juga belum memberikan kontribusi yang signifikan untuk menyeimbangkan antara penguasaan teori dan praktek pembiasaan perilaku dan keterampilan dalam berkehidupan yang demokratis dan sadar hukum.
Indikasi-indikasi tersebut melukiskan begitu banyaknya kendala kurikuler dan sosial-kultural bagi PKn untuk menghasilkan suatu totalitas hasil belajar yang mencerminkan pencapaian secara komprehensif (menyeluruh) dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang koheren dan konfluen. Hasil belajar PKn yang belum mencapai keseluruhan dimensi secara optimal seperti digagaskan itu berarti menunjukkan bahwa tujuan kurikuler PKn belum dapat dicapai sepenuhnya.
Selain menghadapi kendala internal sebagaimana diuraikan di atas, PKn juga menghadapi kendala eksternal yaitu kritikan dan tuntutan dari berbagai lapisan masyarakat berkaitan dengan semangat demokratisasi yang semakin meningkat dengan segala eksesnya. PKn yang secara paradigmatik sarat dengan muatan afektif namun dilaksanakan secara kognitif telah disikapi secara keliru sebagai satu-satunya obat mujarab (panacea) untuk mengatasi persoalan kehidupan para siswa khususnya yang menyangkut perilaku dan moral. Namun demikian, kritikan dan tuntutan tersebut sudah seharusnya direspons dan diakomodasikan secara proporsional karena memang pendidikan secara umum dan PKn secara khusus bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja tetapi juga tanggung jawab seluruh komponen masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Tanggung jawab bersama untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas pada hakikatnya merupakan perwujudan dari amanat nasional.
Kendala eksternal lainnya yaitu pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan dan situasi global yang berkembang cepat setiap waktu baik yang bermuatan positif maupun yang bermuatan negatif atau bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia. Ketidakmampuan bangsa Indonesia dalam merancang program pendidikan yang meng-akomodasikan kecenderungan dan persoalan global tersebut berarti akan menghilangkan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan untuk secara bertahap dapat mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa yang sudah maju dalam bidang pendidikannya.


Peran Warga Negara dalam Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia

Dalam kehidupan bernegara sudah pasti akan ada yang namanya masalah-masalah termasuk dalam hal Pendidikan Kewarganegaraan baik dalam pendidikan formal, informal ataupun non formal. Menurut Azis Wahab, (2006) dalam Budimansyah Dasim, (2007:p.61) bahwa permasalahan yang paling signifikan dalam Pendidikan Kewarganegaraan terutama yang menjadi landasan dan teorinya dari waktu ke waktu dan dari masa ke masa adalah konsep-konsep Pendidikan Kewarganegaraan yang telah dikenal secara teoritik dapat dikatakan telah memadai, namun yang menjadi persoalannya adalah implikasinya dalam pengajaran yang perlu dipertajam makna dan pemahamannya.
Warga negara yang akan dihasilkan melalui pendidikan khususnya Pendidikan Kewarganegaraan, pada dasarnya adalah disesuaikan dengan kepentingan “rezim” yang berkuasa, yang digambarkan sebagai pendidikan yang menekankan pada “ nation and character building” yang menekankan pada nasionalisme, dan rezim berikutnya menekankan pada terbentuknya “ Manusia Indonesia Seutuhnya” yang berorientasi pada pengisian kemerdekaan dengan pembangunan yang lebih mengutamakan pendekatan keamanan pembangunan ekonomi, serta perkembangan dan keunggulan teknologi dengan menomorduakan pengembangan manusianya yang kelak akan melakukan dan memanfaatkan semua yang dihasilkan dari pendekatan yang keliru tersebut.
Dalam era reformasi tekanan untuk melakukan perubahan dan menetapkan kebebasan serta persamaan yang didasari oleh penegakkan hukum dan aturan-aturan yang berlaku merupakan tuntutan masyarakat guna mencapai masyarakat Indonesia yang madaniah melalui upaya menyiapkan warga negara demokratis, cerdas dan religious. Terjadinya perubahan–perubahan yang dalam istilah atau pengertian membentuk “warga negara yang baik” dalam berbagai era itu menyiratkan inkonsistensi dalam konsep yang dimaksud dengan mengarahkannya kepada terbentuknya warga negara yang baik dalam pengertian “democration citizen”.
Perjalanan panjang sejarah Pendidikan Kewarganegaraan dengan segala dampak dan implikasinya itu semakin mempertegas perlunya pembaharuan konsep dan paradigma kewarganegaraan yang baru. Dalam penerapan konsep-konsep Pendidikan Kewarganegaraan yang baru tersebut didasari oleh adanya pengaruh dari dalam dan luar sistem politik sebuah negara seperti halnya Indonesia akan berpengaruh terhadap penyiapan individu warganegara.
Oleh karena itu, dalam masyarakat global yang terus menerus menggelorakan demokrasi maka pendidikan kewarganegaraan di masa yang akan datang sebagaimana yang diungkapkan oleh Aziz Wahab dan Sapriya (2011: p.4) hendaknya:
  1. Memiliki landasan konsepsi secara ilmiah dengan menggunakan pendekatan holistis,
  2. Memiliki sandaran filosofis yang kokoh,
  3. Terbebas dari pengaruh kepentingan politik sesaat dari rezim  yang berkuasa
  4. Memiliki konsistensi antara tujuan idealnya dengan struktur program kulikulernya, yang mengacu pada misi fungsi pembentukan keperibadian warga negara yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatn dan kebangsaan,
  5. Seimbang antara pegembangan nilai moral dengan pemahaman struktur, proses dan institusi-institusi negara dengan segala kelengkapannya,
  6. Menerapkan pendekatan pedagogis dan metodologis yang tidak bernuansa dogmatis-indoktrinatif, tetapi menumbuhkembangkan budaya berfikir kritis, sistematis, kreatif dan inovatif,
  7. Terintegrasi dengan konteks disiplin keilmuan dan lingkungan sosial budayanya,
  8. Mempersiapkan dan mengembangkan bahan-bahan yang diambil dari isu-isu global untuk meningkatkan wawasan dan kesadaran warga negara sebagai warga dunia (global).
Demokrasi merupakan sesuatu yang sangat penting, karena nilai yang terkandung di dalamnya sangat diperlukan sebagai acuan untuk menata kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik. Demokrasi di pandang penting karena merupakan alat yang dapat di gunakan untuk mewujudkan kebaikan bersama atau masyarakat dan pemerintahannya yang baik ( good society and good goverment ).

Atas dasar pengalaman historis yang empiris Indonesia yang sangat buruk dalam masalah demokrasi terutama pada masa orde baru dan masa-masa sebelumnya. Hal ini dikarenakan pemerintah yang otoriter sehingga hak dan kebebasan masyarakat terikat dan sangatterbatas.oleh karena itu sangat diperlukan sekali peran warga negara dalam menumbuhkembangkan demokratisasi di Indonesia. Warga negara diharapkan memahami masalah kontemporer yang akan timbul. Untuk mengatasi masalah tersebut dalam masyarakat demokratis, peran warganya adalah berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat/pemerintahnya (social support), melakukan kontrol terhadap pemerintah (social control), dan meminta pertanggung jawaban pemerintah terhadap rakyat (social responsibility). Dengan diadakannya amandemen UUD 1945 dari tahun 1999-2002  diharapkan adanya perubahan besar dari warga negara dalam memandang demokrasi. Amandemen yang hingga keempat kali itu intisarinya memang benar-benar berpaham konstitusionalime penuh sehingga kekuasaan pemerintah memang tidak sewenang-wenang, jaminan hak asasi manusia dan warga negara terwujud. Dengan dijabarkannya pasal mengenai jaminan hak-hak warga negara. Ini membuka jalan lebar untuk perkembangan demokrasi di Indonesia.
Nilai-nilai Demokrasi memang sangat menghargai martabat manusia, namun pilihan apakah demokrasi liberal atau demokrasi yang lain yang akan di terapkan hal ini tidak dapat lepas dari konteks masyarakat yang bersangkutan.Nilai-nilai demokrasi menurut Sigmund Neuman (Miriam Budiardjo, ed, 1980:156) adalah :
1.      Sebagai zoon politikon
2.      Setiap generasi dan masyarakat harus menemukan alannya sendiri yang berguna untuk sampai kepada kekuasaan.
3.      Kebesaran domokrasi terletak dalam hal ia memberikan setiap hari kepada manusia untuk mempergunakan kebebasannya serta dapat memenuhi kewajiban sehingga menjadikan pribadi yang baik. (Cholisin,dkk. 2007:87)

Masyarakat politik adalah arena masyarakat bernegara secara khusus mengatur dirinya dalam konstelasi politik guna memperoleh kontrol atas kekuasaan pemerintahan dan aparat negara.Civil Society pada dasarnya merupakan upaya memberdayakan masyarakat itu sendiri dalam memperoleh hak-haknya sebagai warga negara dengan demikian, civil society (masyarakat madani) sebagai pemberdayaan warga Negara akan dapat menolong demokratisasi apabila mampu meningkatkan efektifitas masyarakat politik untuk menguasai/mengontrol Negara.

Peranan warga Negara yang bersifat aktif, pasif, positif, dan negatif, pada dasarnya merupakan manifestasi dari prinsip-prinsip dari demokrasi politik, maupun demokrasi sekunder yang lain (demokrasi ekonomi, demokrasi sosial). Pemahaman setiap warga Negara terhadap nilai-nilai demokrasi dan perkembangannya, akan dapat memperkuat optimisme dan komitmennya terhadap peranannya. Nilai-nilai demokrasi sangat menjunjung tinggi martabat kemanusiaan, begitu pula prinsip-prinsip yang dianutnya seperti prinsip kebebasan/kemerdekaan, persamaan dan toleransi menawarkan penataan kehidupan masyarakat dan bernegara yang lebih baik dan manusiawi.
Civil society yang merupakan pemberdayaan warga Negara (optimalisasi pengembangan peranan warga Negara) akan menunjang demokratisasi (proses menjadi demokrasi), jika mampu meningkatkan efektifitas masyarakat politik (political society) sehingga mampu melakukan kontrol/menguasai Negara.
Dalam rangka mengoptimalkan perilaku budaya demokrasi maka sebagai generasi penerus yang akan mempertahankan negara demokrasi, perlu mendemonstrasikan bagaimana peran serta kita dalam pelaksanaan pesta demokrasi. Prinsip-prinsip yang patut kita demonstrasikan dalam kehidupan berdemokrasi, antara lain sebagai berikut : a. Membiasakan untuk berbuat sesuai dengan aturan main atau hukum yang berlaku.b. Membiasakan bertindak secara demokratis bukan otokrasi atau tirani.c. Membiasakan untuk menyelesaikan persoalan dengan musyawarah.d. Membiasakan mengadakan perubahan secara damai tidak dengan kekerasan atau anarkis.e. Membiasakan untuk memilih pemimpin melalui cara-cara yang demokratis.f. Selalu menggunakan akal sehat dan hati nurani luhur dalam musyawarah. g. Selalu mempertanggungjawabkan hasil keputusan musyawarah baik kepada Tuhan, masyarakat, bangsa, dan negara. h. Menggunakan kebebasan dengan penuh tanggung jawab. i. Membiasakan memberikan kritik yang bersifat membangun.
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan yang dikemukakan oleh Djahiri (1994/1995:10) adalah sebagai berikut:
a. Secara umum. Tujuan PKn harus ajeg dan mendukung keberhasilan pencapaian Pendidikan Nasional, yaitu : “Mencerdaskan kehidupan bangsa yang mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya.
Yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki kemampuan pengetahuann dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
b. Secara khusus. Tujuan PKN yaitu membina moral yang diharapkan diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari yaitu perilaku yang memancarkan iman dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan agama, perilaku yang bersifat kemanusiaan yang adil dan beradab, perilaku yang mendukung kerakyatan yang mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan perseorangan dan golongan sehingga perbedaan pemikiran pendapat ataupun kepentingan diatasi melalui musyawarah mufakat, serta perilaku yang mendukung upaya untuk mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia.
Sedangkan menurut Sapriya (2001), tujuan pendidikan Kewarganegaraan adalah : 
Partisipasi yang penuh nalar dan tanggung jawab dalam kehidupan politik dari warga negara yang taat kepada nilai-nilai dan prinsip-prinsip dasar demokrasi konstitusional Indonesia. Partisipasi warga negara yang efektif dan penuh tanggung jawab memerlukan penguasaan seperangkat ilmu pengetahuan dan keterampilan intelektual serta keterampilan untuk berperan serta.   
Partisipasi yang efektif dan bertanggung jawab itu pun ditingkatkan lebih lanjut melalui pengembangan disposisi atau watak-watak tertentu yang meningkatkan kemampuan individu berperan serta dalam proses politik dan mendukung berfungsinya sistem politik yang sehat serta perbaikan masyarakat. 
Tujuan umum pelajaran PKN ialah mendidik warga negara agar menjadi warga negara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan “warga negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis, dan Pancasila sejati” (Somantri, 2001:279).



Djahiri (1995:10) mengemukakan bahwa melalui Pendidikan Kewarganegaraan siswa diharapkan :

a. Memahami dan menguasai secara nalar konsep dan norma Pancasila sebagai falsafah, dasar ideologi dan pandangan hidup negara RI.

b. Melek konstitusi (UUD NRI 1945) dan hukum yang berlaku dalam negara RI.

c. Menghayati dan meyakini tatanan dalam moral yang termuat dalam butir diatas.

d. Mengamalkan dan membakukan hal-hal diatas sebagai sikap perilaku diri dan kehidupannya dengan penuh keyakinan dan nalar.

Secara umum, menurut Maftuh dan Sapriya (2005:30) bahwa, Tujuan negara mengembangkan Pendiddikan Kewarganegaraan agar setiap warga negara menjadi warga negara yang baik (to be good citizens), yakni warga negara yang memiliki kecerdasan (civics inteliegence) baik intelektual, emosional, sosial, maupun spiritual; memiliki rasa bangga dan tanggung jawab (civics responsibility); dan mampu berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat.
Setelah menelaah pemahaman dari tujuan Pendidikan Kewarganegaraan, maka dapat saya simpulkan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan berorientasi pada penanaman konsep Kenegaraan dan juga bersifat implementatif dalam kehidupan sehari - hari. Adapun harapan yang ingin dicapai setelah pengajaran Pendidikan Kewarganegaraan ini, maka akan didapatkan generasi yang menjaga keutuhan dan persatuan bangsa.



Peran Warga Negara dalam Kewarganegaraan Hukum Republik Indonesia

Siapakah Warga Negara ??
Pasal 26 ayat (1) mengatur siapa yang termasuk warga negara Republik Indonesia. Pasal ini degan tegas menyatakan bahwa yang menjadi warga negara adalah orang - orang bangsa Indonesia asli atau Orang-orang bangsa lain yang bertempat tinggal di Indonesia , mengakui indonesia sebagai tanah airnya, bersikap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan disahkan oleh Undang - Undang sebagai warga negara.

Pengertian Negara Hukum
Negara hukum berarti alat-alat negara mempergunakan kekuasaannya hanya sejauh berdasarkan hukum yang berlaku dan dengan cara yang ditentukan dalam hukum itu. Dalam negara hukum, tujuan suatu perkara adalah agar dijatuhi putusan sesuai dengan kebenaran. Tujuan suatu perkara adalah untuk memastikan kebenaran, maka semua pihak berhak atas pembelaan atau bantuan hukum.
Ada dua unsur dalam negara hukum, yaitu pertama: hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan melainkan berdasarkan suatu norma objektif, yang juga mengikat pihak yang memerintah; kedua: norma objektif itu harus memenuhi syarat bahwa tidak hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan idea hukum.

Peran Warga Negara
a. Setiap warganegara wajib patuh terhadap hukum yang berlaku dan dijalankan dengan sebaik-baiknya.
b. Setiap warganegara memiliki kedudukan yang sama dimata hukum
c. Setiap warganegara wajib berpatisipasi dalam hal upaya penegakan hukum.
d. Berpartisipasi dalam pembangunan nasional
e. Mengembang Iptek yang dilandasi iman dan takwa
f. Ikut serta memajukan pendidikan nasional
g. Menciptakan kerukunan beragama
h. Mempertahankan kemerdekan dan berdaulat

Jadi sikap bela negara berupa salah satu peran kita sebagi warga negara yang baik. dilandasi dengan dengan sikap menghargai dan mencintai tanah air. juga kesadaran berbangsa dan bernegara dengan meyakini Pancasilan sebagai dasar negara dan UUD 45 sebagai konstitunsi negara.

Disamping itu ada lagi Peran Warga Negara Indonesia yang lainnya :
1.                  Ikut berpartisipasi untuk mempengaruhi setiap proses pembuatan dan      pelaksanaan kebijaksanaan publik oleh para pejabat atau lembaga–lembaga negara.
2.                  Menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan.
3.                  Berpartisipasi aktif dalam pembangunan nasional.
4.                  Memberikan bantuan sosial, memberikan rehabilitasi sosial, melakukan pembinaan kepada fakir miskin.
5.                  Menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan sekitar.
6.                  Mengembangkan IPTEK yang dilandasi iman dan takwa.
7.                  Menciptakan kerukunan umat beragama.
8.                  Ikut serta memajukan pendidikan nasional.
9.                  Merubah budaya negatif yang dapat menghambat kemajuan bangsa.
10.              Memelihara nilai–nilai positif (hidup rukun, gotong royong, dll).

            Hak dan kewajiban warga negara, terutama kesadaran bela negara akan terwujud dalam sikap dan perilakunya bila ia dapat merasakan bahwa konsepsi demokrasi dan hak asasi manusia sungguh–sungguh merupakan sesuatu yang paling sesuai dengan kehidupannya sehari–hari.

            Pembelaan negara adalah tekad, sikap dan tindakan warganegara yang teratur, menyeluruh, terpadu dan berlanjut yang dilandasi oleh kecintaan terhadap tanah air, serta kesadaran hidup berbangsa dan bernegara. Bagi warganegara Indonesia, upaya pembelaan dilandasi oleh kecintaan pada tanah tumpah darah yakni wilayah Nusantara yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Disamping itu pula pembelaan negara juga didasari oleh kesadaran berbangsa dan bernegara, dengan meyakini Pancasila sebagai dasar negara serta UUD 1945 sebagai pijakan konstitusi negara.

            Wujud dari upaya bela negara adalah kesiapan dan kerelaan warganegara untuk berkorban demi mempertahankan kedaulatan negara, persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, keutuhan wilayah Nusantara dan yuridiksi nasional, serta nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.